Pages

Tuesday 11 September 2018

Rick Riordan -The Heroes Of Olympus 1 - The Lost Hero

Dia terbangun di dingklik belakang sebuah bus sekolah Rick Riordan -The Heroes of Olympus 1 - The Lost Hero
SEBELUM DIA KESETRUM SEKALIPUN, BUAT Jason hari itu sudah payah.
Dia terbangun di dingklik belakang sebuah bus sekolah, tidak yakin di mana beliau berada, berpegangan tangan dengan cewek yang tidak dikenalnya. Bukan bab itu yang payah. Cewek ini manis, tapi Jason tidak tahu siapa cewek itu dan apa yang dirinya lakukan di sana. Jason duduk tegak dan menggosok-gosok matanya, mencoba berpikir.
Beberapa lusin anak sedang berleha-leha di kursi-kursi di depannya, mendengarkan iPod, mengobrol, atau tidur. Mereka semua kelihatannya seumuran dengan Jason ... lima belas? Enam belas? Oke, itu gres seram, Jason bahkan tidak ingat umurnya sendiri.
Bus tersebut bergemuruh, menyusuri jalanan yang renjul. Di luar jendela, gurun melesat di bawah langit biru cerah. Jason cukup yakin beliau tidak tinggal di gurun. Dia berusaha berpikir ke belakang ... ke hal terakhir yang beliau ingat ...
Cewek itu meremas tangannya. “Jason, kamu baik-baik saja?”
Cewek itu mengenakan jins belel, sepatu bot hiking, dan jaket snowboarding dari bulu domba. Rambut cokelatnya dipotong pendek dan tidak rata, dihiasi kepangan kecil-kecil di samping. Dia tidak memakai rias wajah, seolah sedang berusaha untuk tidak menarik perhatian, tapi itu tidak berhasil. Dia sangat cantik. Warna matanya berubah-ubah bagai kaleidoskop—cokelat, biru, dan hijau.
Jason melepaskan tangan cewek itu. “Mmm, saya tak—“
Di bab depan bus, seorang guru berteriak, “Baiklah, Bocah-bocah Lembek, dengarkan!”
Laki-laki tersebut terperinci seorang pelatih. Topi bisbolnya ditarik hingga ke bawah, menutupi rambutnya, jadi kita hanya dapat melihat mata kecilnya yang menyerupai manik-manik. Dia mempunyai janggut kambing tipis serta muka masam, menyerupai gres saja memakan sesuatu yang bulukan. Lengan dan dada gempalnya menonjol di balik kaus polo warna jingga cerah. Celana olahraga dan sepatu Nike yang dikenakannya putih tak bernoda. Sebuah peluit dikalungkan di lehernya, sedangkan sebuah megafon dijepit ke sabuknya. Laki-laki itu niscaya tampak cukup mengerikan andaikan tingginya tak cuma 150 senti. Ketika beliau berdiri di lorong, salah seorang murid berseru, “Berdiri dong, Pak Pelatih Hedge!”

No comments:

Post a Comment

Subscribe to our newsletter