E.L James - Fifty Shade Freed |
Prolog
Ibu! Ibu! Ibu sedang tidur di lantai. Dia sudah tertidur usang sekali. Aku mengusap rambutnya karena
ia menyukainya. Dia tidak bangun. Aku mengguncangnya. Ibu! Perutku sakit. Aku lapar. Laki-laki itu
tidak ada disini. Aku haus. Di dapur saya menarik bangku ke kolam basuh dan saya minum. Airnya memercik
ke switer biruku. Ibu masih tetap tertidur.
Ibu bangun! Dia masih terbaring. Tubuhnya dingin. Aku mengambil selimutku, dan kututupi ibu, dan
saya berbaring disebelahnya pada permadani hijau yang lengket. Ibu masih saja tertidur. Aku punya dua
mainan mobil-mobilan. Mereka berpacu dilantai di daerah ibu tertidur. Aku pikir ibu sedang sakit. Aku
mencari sesuatu untuk dimakan.
Di lemari pendingin saya menemukan kacang polong. Kacang polongnya dingin. Aku memakannya
pelan-pelan. Mereka menciptakan perutku sakit. Aku tidur disebelah ibu. Kacang polongnya habis. Di
kulkas ada sesuatu lagi. Baunya aneh. Aku menjilatnya dan lidahku tersangkut pada benda itu. Aku
memakannya perlahan. Rasanya menjijikkan.
Aku meminum beberapa teguk air. Aku bermain dengan mobilku, dan saya tidur di samping Ibu. Ibu
kedinginan dan ia tidak mau bangun. Pintu terbuka dengan dentuman keras. Aku menutupi ibu dengan
selimutku. Laki-laki itu disini. Sialan. Apa yang sedang terjadi disini? Oh, perempuan jalang gila sialan
itu. Brengsek. Sial. Pergi dariku, kau anak kecil sialan. Dia menendangku, dan kepalaku terbentur ke
lantai. Kepalaku sakit. Dia menelepon seseorang kemudian pergi.
Dia mengunci pintu. Aku berbaring di sebelah ibu. Kepalaku sakit. Polisi perempuan itu disini. Tidak.
Tidak. Tidak. Jangan sentuh aku. Jangan sentuh aku. Jangan sentuh aku. Aku termenung disebelah ibu.
Tidak. Menjauh dariku. Polisi perempuan itu mengambil selimutku, dan ia menangkapku. Aku
berteriak. ibu! Ibu! Aku mau ibuku. Kata-kata itu hilang. Aku tidak dapat mengatakannya apapun. Ibu
tidak dapat mendengarku. Aku tidak dapat bicara.
“Christian! Christian!” suaranya mendesak, menariknya kedalaman mimpi buruknya, kedalaman rasa
putus asanya. “Aku disini. Aku disini.”
Dia berdiri dan perempuan itu membungkuk mendekat padanya, ia menggenggam bahunya,
mengguncangnya, wajahnya menggoreskan kepedihan yang mendalam, mata birunya terbuka lebar dan
penuh dengan airmata.
“Ana,” suaranya merupakan bisikan yang terengah-engah. Rasa takut menodai mulutnya. “Kau disini.”
“Tentu saja saya disini.”
“Aku bermimpi...”
“Aku tahu. Aku disini, saya disini.”
“Ana.” Dia bernafas sambil menyebutkan namanya, dan ini merupakan jimat untuk melawan kegelapan
yang mencekik yang memburu melalui tubuhnya.
“ssstt sudahlah, saya disini.” perempuan itu meringkuk didekatnya. Tungkainya mengempompongi dirinya,
kehangatannya menyerupai menempel pada tubuhnya, memaksa mundur bayangannya kembali kebelakang,
memaksa mundur ketakutannya.
Dia yakni sianr mataharinya, ia yakni cahaya... ia yakni miliknya.
“Kumohon jangan bertengkar.” Suaranya serak ketika ia membungkus kakinya di sekitar badan wanita
itu.
“Okay.”
“Sumpah itu. Untuk tidak mematuhi. Aku dapat melakukannya. Kita akan menemukan caranya.”
kata itu keluar terburu-buru dari mulutnya dalam emosi yang bergulung-gulung dan kebingungan serta
kegelisahan.
“Ya. Kita niscaya akan menemukan. Kita niscaya akan menemukan caranya,” bisik perempuan itu dan bibirnya
menyatu pada bibir laki-laki itu, membungkamnya, membawanya kembali ke ketika sekarang.
***
No comments:
Post a Comment