Pages

Wednesday 31 October 2018

Gayle Forman - If I Stay

 melihat selimut putih tipis menyelubungi pekarangan depan kami Gayle Forman - If I Stay
Gayle Forman - If I Stay
SEMUA orang menduga penyebabnya salju. Dan di satu sisi, kurasa itu benar.
Aku terbangun pagi ini, melihat selimut putih tipis menyelubungi pekarangan depan kami.
Tebalnya bahkan tidak hingga dua senti, tapi turun salju sedikit saja di potongan Oregon ini
menciptakan segalanya berhenti bergerak sementara satu-satunya mesin pengeruk salju
di county sibuk membersihkan jalan. Yang turun dari langit air basah—menetes-netes—bukan
jenis yang beku.
Salju ini cukup untuk meliburkan sekolah. Adik laki-lakiku, Teddy, meneriakkan undangan perang
dikala radio AM Mom mengumumkan penutupan sekolah. “Hari salju!” ia berteriak. “Dad, ayo
kita buat orang-orangan salju.”
Ayahku tersenyum dan mengetuk pipa. Akhir-akhir ini ia mulai mengisap pipa sebagai bagian
kebiasaan barunya, menjiplak serial komedi Father Knows Best ala tahun lima puluhan. Dia juga
mengenakan dasi kupu-kupu. Aku tidak tahu apakah semua ini alasannya yaitu ia ingin bergaya atau
bersikap sinis—cara Dad menyampaikan bahwa dulu ia suka mengerjai orang tapi sekarang
menjadi guru bahasa Inggris SMP, atau menjadi guru benar-benar mengubah gaya ayahku ke
masa kemudian menyerupai ini. Tapi saya suka aroma tembakau dari pipanya. Baunya elok dan berasap,
mengingatkanku pada ekspresi dominan hambar dan tungku kayu.
“Kau dapat berusaha mati-matian,” Dad memberitahu Teddy. “Tapi saljunya hampir tidak
melekat di jalan. Mungkin sebaiknya kamu mencoba menciptakan ameba salju saja.”
Aku tahu Dad sedang gembira. Salju tidak hingga dua senti artinya semua sekolah di county ini
tutup, termasuk SMU-ku dan Sekolah Menengah Pertama kawasan Dad bekerja, maka ini hari libur dadakan baginya
juga. Ibuku, yang bekerja di distributor perjalanan di kota, mematikan radio dan menuangkan cangkir
kopi kedua untuk dirinya. “Yah, jikalau kalian semua membolos hari ini, saya juga tidak mau
berangkat kerja. Ini tidak adil.” Dia mengangkat telepon untuk menghubungi kantornya. Ketika
selesai, Mom menatap kami semua. “Apakah sebaiknya saya menciptakan sarapan?”
Dad dan saya terbahak-bahak bersamaan. Mom cuma dapat menciptakan sereal dan roti panggang.
Dad-lah koki di keluarga kami.
Mom akal-akalan tidak mendengar kami, kemudian meraih lemari dapur untuk mengambil sekotak
Bisquick. “Ampun deh. Seberapa sulit sih menciptakan sarapan? Siapa yang mau camilan elok dadar?”
“Aku mau! Aku mau!” Teddy berteriak. “Boleh pakai potongan cokelat?”
“Kurasa tidak ada salahnya,” jawab Mom.
“Wuu huu!” Teddy memekik, melambai-lambaikan lengan.
“Kau terlalu banyak energi untuk sepagi ini,” saya menggodanya. Aku menoleh pada Mom.
“Mungkin Mom seharusnya tidak membiarkan Teddy minum kopi banyak-banyak.”

No comments:

Post a Comment

Subscribe to our newsletter