CUACA luar biasa panas pagi ini, ketika kisah ini dimulai. Danu mengayuh sepeda sekuat-
kuatnya. Sepedanya bergerak cepat, menyalip lincah di antara ramainya kendaraan bermotor
yang memadati jalan raya Jakarta pagi hari. Sengatan matahari menciptakan peluh mulai
membasahi seragamnya, tapi tidak membuatnya memperlambat kayuhan, dia malah semakin
ngebut ketika memasuki sebuah kompleks perumahan.
Danu mengerem sepedanya sempurna di depan rumah mungil berlantai dua bercat biru tua. Di
depan pagar teralis rumah itu berdiri gadis berseragam sama dengan Danu, rambut sebahunya
diikat satu asal-asalan, wajahnya cemberut.
―Lo usang banget sih? Udah jam berapa nih?‖ gerutu si gadis. ―Gue hampir jalan sendiri
ninggalin lo.‖
―Sori, Anka, gue berdiri kesiangan. Tadi kan gue udah SMS lo kalo gue agak telat hari ini,‖
terang Danu ngos-ngosan, seraya menghela napas dan mengelap keringat di dahinya.
Melihat Danu yang begitu kelelahan, gadis yang dipanggil Anka itu berhenti menggerutu,
meredam kekesalannya. Anka mengeluarkan sepedanya yang sengaja diletakkannya di
samping kendaraan beroda empat inventaris kantor ayahnya.
―Berangkat, yuk! Takut telat nih, gue kebagian Kimia jam pertama, gurunya galak,‖ ajak
Anka, seraya naik ke sadel sepedanya, siap berangkat.
―Nggak pamit ibu sama ayah lo dulu, Ka?‖
Sunday, 11 March 2018
Ria N. Badaria - A Shoulder To Cry On
Labels:
Novel,
Ria N. Badaria
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment