Mata Elang
|
Mata Elang |
“Pelajaran kosong”. Tanyakan pada pelajar Sekolah Menengan Atas manapun, kata-kata ini nilainya tinggi sekali,
jauh lebih tinggi daripada “batal ulangan” sekalipun. Mungkin kata-kata yang dapat menandingi
nilai “pelajaran kosong” hanyalah “dua jam pelajaran kosong”. Itulah sebabnya suasana kelas
hari ini ramai sekali. Keramaian ini dimulai dikala mereka mendengar bahwa guru biologi, Bu
Tanti, tidak dapat mengajar hari ini lantaran sakit. Itu berarti, dua pelajaran penuh, dua kali 45
menit, mereka bebas dari pengawasan guru. Guru-guru yang lain sibuk mengajar. Bu Tanti
menawarkan kiprah meringkas dua cuilan dari buku diktat. Tapi rasanya murid-murid tidak ada
yang menganggap penting kiprah itu sekarang. Yang penting kini ialah pelajaran
kosong, dan ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya.
”Kalian dapat diam, tidak?” tiba-tiba saja Bu Mirna, yang sedang mengajar ekonomi di kelas
sebelah, masuk ke dalam kelas. Murid-murid cepat-cepat kembali ke daerah duduknya
masing-masing. Bertepatan dengan itu, Pak Yusril, kepala sekolah Sekolah Menengan Atas Antonius mengetuk
pintu kelas.
“Terima kasih, Bu Mirna. Saya akan jaga di kelas ini,” kata Pak Yusril.
Ada seorang pria yang membuntutinya.
“Anak-anak, ini Pandu. Mulai hari ini beliau akan menjadi anggota kelas 2C ini. Tolong perlakukan
beliau dengan baik. Pandu, ceritakan sedikit wacana dirimu sehingga teman-teman barumu bisa
mengenalmu lebih baik,” kata Pak Yusril.
“Nama saya Pandu. Pandu Prasetya. Saya pindahan dari Sekolah Menengan Atas Mataram di Yogyakarta. Ayah
saya polisi, gres saja simpulan tugasnya di Yogya, dan dipindah ke Semarang ini. Saya anak
bungsu dari 5 bersaudara, abang saya pria semua. Pasti ada yang bertanya-tanya kenapa
ayah saya memberi nama Pandu padahal saya anak bungsu? Kakak-kakak saya semua
berjulukan Pandu. Kaprikornus kalo ada yang naksir saya, mau telepon ke rumah, carinya Pandu
Prasetya. Kalo nggak nanti pada galau Pandu yang mana.” kata Pandu tanpa malu-malu
dengan gaya yang ramah dan kocak.
“Huh,” gersah Niken yang duduk di samping jendela, “Pe-de benar pemuda satu ini. Lagaknya
sok ganteng”, batinnya.
“Nik, cakep yach tu cowok,” Wulan yang duduk di sebelahnya berbisik.
“Cakep apanya, ah?”
“Bagaimana sih kamu? Perawakannya tegap, tinggi lagi. Rambutnya keren. Ketahuan lah kalau
bapaknya polisi. Matanya menyerupai mata elang...” bisik Wulan, mulai berandai-andai.
“Seperti mata jangkrik.” sahut Niken asal-asalan.
“Niken!” panggil Pak Yusril.
“Ya Pak!” Mendengar namanya dipanggil, Niken sontak berdiri. “Aduh, jangan-jangan Pak
Yusril mendengar percakapanku dengan Wulan?”
“Kamu ketua kelas, saya ingin kau duduk dengan Pandu. Wulan, kau pindah di samping
Arya. Pandu, kau duduk di samping Niken.”
“Baik, Pak.” sahut Wulan dan Pandu hampir bersamaan.
“Duh, sial! Kenapa pula si jangkrik itu musti duduk di sebelahku? Benar-benar sial.” gerutu
Niken dalam hati sambil duduk kembali.
Subscribe to our newsletter
No comments:
Post a Comment