Mimi Elektrik - Zara Zettira ZR |
Teng... teng... teng...
"Ya, kita selesaikan hingga di sini dan jangan lupa
pekerjaan ru..."
Ucapan sang ibu guru tak lagi terdengar lantaran
riuhnya bunyi dingklik dan derap langkah murid-murid
yang berlomba-lomba keluar ruangan kelas lebih dulu.
Tak ada seorang lagi pun yang mengacuhkan pesan
Bu Betty, sang guru fisika.
Tak terkecuali Mimi. Meski sudah memusatkan segala
kecepatan yang dimiliki, tetap saja ia kebagian posisi
juru kunci, alias paling belakang dan selalu diserobot
teman-temannya. Sambil menghela napas maklum,
Mimi membetulkan letak kacamata minus tujuh-nya
yang sering merosot tanggapan dorongan dan desakan-
desakan teman-teman yang memburu keluar
melewati pintu.
"Hei!" seseorang mencolek bahunya.
Mimi menoleh dan tersenyum kikuk. "Hai, Belia,"
dibalasnya sapaan Bella.
"Mau ke mana? Ke kantin yuk?" ajak Belia manis,
bernada bersahabat.
Mimi termangu sesaat. Seorang gadis cantik, manis, dan
cukup terkenal sedang mengajak seorang anak itik
yang dungu dan lamban, batin Mimi. Ya, Belia
memang gadis yang baik. Kecantikan dan
kepopulerannya di sekolah ini tak menjadikannya
sombong. Sementara teman-teman yang lain
menganggap Mimi absurd dan enggan menegur, apalagi
mengajak Mimi ikutan dalam suatu kegiatan.
"Ayolah," ajak Belia sambil menarik tangan Mimi.
"Kalau kau..."
"Bel... cepetan dong, usang amat sih," panggil Kiki, salah
satu gadis dalam kelompok Belia. Kelompok yang
terkenal karena anggotanya terdiri dari gadis-gadis
manis dan modis.
Lewat tatapan mata Kiki, Mimi sanggup merasakan
bahwa keikutsertaannya tidak diperlukan dan
kehadirannya tak diinginkan oleh anggota kelompok
yang lain.
"Aku... eh... lain kali sajalah," tolak Mimi seperti
biasanya dengan kikuk dan kepala agak tertunduk-
tunduk, tak berani menatap lawan bicaranya.
"Bel, cepet...!" panggil Kiki.
Belia memandang ke arah Mimi dan Kiki bergantian
beberapa ketika sebelum akibatnya memutuskan untuk
mengikuti Kiki.
"Bener lho, Mi... lain kalinya?" Belia pura-pura
merengut.
Mimi tersenyum kemudian mengangguk dan segera berlalu
dari hadapan mereka. Ia lebih suka melewatkan
waktu makan siang di perpustakaan atau di taman
sambil memakan bekal roti yang dibawanya dari
rumah. Baginya kumpul-kumpul dan ngobrol di kantin
yaitu sesuatu yang hanya membuatnya merasa
tidak enak, risi, dan malu. Sebab semua orang akan
memperhatikan dirinya begitu ia masuk ke sana.
Sambil melangkah Mimi terus memikirkan
keadaannya. Bukan ia yang minta menjadi gadis kutu
buku berkacamata minus tebal dan berpribadi pemalu,
tertutup ibarat ini. Entah siapa yang salah.... Yang
jelas, selama 16 tahun ia telah tumbuh menjadi Mimi
yang lamban, kutu buku, tak pandai bergaul, dan
punya selera yang absurd dalam menentukan penampilan.
Mimi memasuki taman sambil mulai mencari-cari
sudut yang lengang dan dingklik yang kosong. Sekolah
swasta ini dikelola oleh yayasan Katolik, sehingga
selain kompleks sekolah, terdapat juga kompleks
biarawati. Dan taman ini bersama-sama yaitu milik
para biarawati itu. Akan tetapi siapa saja boleh
memasukinya asalkan tidak merusak, bikin kotor,
atau bikin onar.
No comments:
Post a Comment